Langsung ke konten utama

Eksekutif Nasional LMND : Sistem Pendidikan Yang Bobrok Merenggut Kesempatan Rakyat Akses Pendidikan Tinggi



PROPAGANDIS NEWS – Jakarta| Situasi Pendidikan Indonesia 
Salah satu aspek penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah memastikan pendidikan bisa diakses oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Artinya, tidak boleh seorangpun warga negara tercegat haknya menikmati pendidikan tinggi karena faktor biaya. Namun rupanya ini cuma jadi mimpi yang tak berkesudahan karena pada kenyataannya sampai saat ini negara kita belum sanggup mewujudkannya.

Berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional oleh biro pusat statistik (BPS), masih ada sekitar 4,5 juta anak indonesia yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Dan sebagian besar alasannya karena kemiskinan.

Kemudian, melirik situasi pendidikan tinggi misalnya jumlah angka partisispasi kasar (APK) pendidikan tinggi kita masih sangat rendah dan merupakan yang terendah di ASEAN yakni 31,16 persen pada tahun 2022 yang hingga saat ini belum ada perubahan secara signifikan_ bandingkan dengan Malaysia yang sudah 50-60 persen.

Artinya, dari jumlah penduduk indonesia usia 19-24 tahun, baru 31, 16 persen yang berhasil menyentuh bangku pendidikan tinggi dan sekitar 69, 84 persen yang tidak bisa mengakses bangku Pendidikan tinggi. Potret situasi semacam ini tentu saja mengisyaratkan bahwa ada yang tidak beres dari system pendidikan maupun kenegaraan kita.

Sejak kebijakan neoliberalisme merasuk ke dunia pendidikan, biaya pendidikan melonjak naik. BPS juga mencatat biaya pendidikan naik 10 persen setiap tahunnya. Sedangkan ZAP finance menghitung justru kenaikan biaya pendidikan mencapai 20 persen per tahun.

Disisi lain, daya beli rakyat yang terus merosot. Kendati pemerintah mencoba mengatasi persoalan itu dengan menebar kartu indonesia pintar (KIP), tetapi jangkauannya baru sekitar 18 juta anak. Kemudian pada perguruan tinggi kita, sejak orde baru politik pendidikan tinggi di Indonesia sudah menghamba pada kepentingan bisnis.

Banyak pendidikan tinggi berdiri hanya sekedar untuk meraup keuntungan; mulai dari pungutan biaya pada mahasiswa, kurikulum yang berbasis pasar, prakter hingga jual beli ijazah.

Faktanya, dari sekitar 4600-an perguruan tinggi di indonesia, sebanyak 4200 atau 91 persen diantaranya adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Ironisnya, kendati jumlah PTS mencapai 91 persen tetapi daya tampung mahasiswanya hanya 63 persen. Karena orientasi hanya sekedar meraup untung, banyak PTS beroperasi dibawah standar layanan akademik.

Bahkan, banyak kampus abal abal yang sekedar membuka layanan bisnis jual beli ijazah. Jangan heran jika ada sekitar 3340 perguruan tinggi yang tidak terakreditasi.
Kemudian setelah orde baru tumbang, seiring dengan angin liberalisasi yang sangat kencang, dunia pendidikan pun tidak lewat dari terpaannya.

Lahirlah berbagai regulasi yang membentangkan karpet merah bagi liberalisasi pendidikan tinggi. Mulai PP No. 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negara sebagai badan hukum, kemudian disusul UU No.20 tahun 2003 tentang sisitem pendidikan nasional, lalu puncaknya UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

Regulasi-regulasi itu mendesak perguruan tinggi berubah menjadi “badan hukum” yang dikelola layaknya koperasi. Dengan jargon “otonomi” perguruan tinggi dipaksa mandiri termasuk dalam pembiayaan pendidikan.


Tentu saja sebagai konsekwensinya, perguruan tinggi didorong untuk mencari pembiayaan sendiri melalui pengelolaan dana abadi, pembebanan biaya pendidikan pada mahasiswa, menciptakan badan usaha dan membangun kerjasama dengan pihak swasta. Pada intinya, negara pelan-pelan dihilangkan tanggungjawabnya dalam mengurusi pendidikan, termasuk dalam soal pembiayaan.

Kita kemudian diperkenalkan dengan sistem uang kuliah tunggal ( UKT) yang mengatur besaran terif pendidikan setiap mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua atau pihak yang menanggung biaya pendidikannya. Walhasil, ada kelas atau pengelompokan tarif pendidikan untuk mahasiswa.

Faktanya, selain menciptakan kasta-kasta , UKT juga mendongkrak biaya pendidikan semakin mahal. Tidak heranlah ketika sistem tersebut banyak ditolak oleh mahasiswa diberbagai perguruan tinggi di Inddonesia.

Biaya pendidikan yang semakin mahal, mencegat kesempatan rakyat indonesia untuk mengakses pendidikan tinggi. Ini yang membuat angka partisipasi pendidikan tinggi kita tetap rendah meskipun jumlah lembaga pendidikan tinggi sangat banyak di Indonesia.

Selain itu, melalui UU pendidikan tinggi, perguruan tinggi semakin dipaksa mempererat hubungan dengan dunia industri. Tak heran jika kurikulum dan orientasi pendidikan kita semakin “rasa pabrik”.

Membaca kenyataan pahit dalam dunia pendidikan kita tentunya negara harus dipanggil Kembali kewajibannya untuk mengurusi penyelenggaraan pendidikan Nasional.

Mulai dari persoalan pembiayaan, infrastruktur, kurikulum, kelembagaan, hingga soal metode pengajaran. Karena selama syarat-syarat kemajuan itu tidak dilaksanakan maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan menemui jalannya. 

Penulis : Eksekutif Nasional LMND

~Mr.T (Andri) 

Komentar